Rabu, 12 Maret 2014

SEJARAH ASAL-USUL MANUSIA BELU, TIMOR DAN KEPULAUANNYA

SEJARAH ASAL-USUL MANUSIA BELU, TIMOR DAN KEPULAUANNYA

Secara adat-istiadat dan kebudayaan, Kabupaten Belu merupakan masyarakat adat Timor, yang hidup dalam empat kelompok suku-bangsa dan bahasa. Penduduk Kabupaten Belu, kebanyakan Orang Tetun. Selain Orang Tetun yang berkonsentrasi di sebagian besar Tasifeto, sebagian besar Malaka dan sebagian besar Kobalima; terdapat juga Orang Marae atau Bunak yang berkonsentrasi di hampir seluruh wilayah Lamaknen serta beberapa perkampungan lain di Tasifeto, Malaka dan Kobalima; Orang Kemak yang berkonsentrasi di Sadi, dan bberapa perkampungan lainl di Tasifeto serta Orang Dawan R yang berkonsentrasi di Manlea dan Biudukfoho, wilayah Malaka. Umumnya penduduk Kabupaten Belu, berasal dari ras Melayu Tua (Proto-Melayu), ras yang diyakini lebih tua dan lebih awal mendiami Pulau Timor. Selain Ras Melayu Tua, terdapat juga ras Melayu Muda (Deutero-Melayu) dan Asia (Cina). Baik ras Proto Melayu, Deutero Melayu dan Asia, telah berbaur dan telah terikat dalam sistem kawin-mawin, sejak beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun silam. Di Kota Atambua, juga beberapa kota kecil seperti Atapupu, Halilulik, Betun, terdapat juga sejumlah kecil penduduk yang berasal dari luar Kabupaten Belu, entah dari Pulau Timor sendiri, atau pun dari luar Pulau Timor.
Penutur adat Kabupaten Belu, yang dijuluki gelar Mako’an, menuturkan bahwa konon Pulau Timor ini belum muncul ke permukaan. Semua masih ditutupi air. Dan kita bisa membayangkan itu dengan jaman es (atau Jaman Glasial) yang terjadi sekitar 500 atau 600 ribu tahun silam. Dalam dunia ilmu pengetahuan, Jaman Glasial merupakan bagian dari Masa Neozoikum, khususnya Periode Pleitosen (Dilluvium) … yang ditandai pula dengan munculnya manusia raksasa (bdk. Science Daily, 27 Mei 2010).
Konon, seluruh permukaan bumi tertutup air, termasuk di Timor. Namun pada suatu ketika, di Timor, muncullah sebuah titik, yang ternyata itu adalah puncak tertinggi dari keseluruhan Pulau Timor kelak. Titik kecil itu muncul dan bersinar sendiri! Orang di generasi sesudahnya menggambarkan kembali titik bumi yang muncul itu dengan sapaan adat: Fo’in Nu’u Manu Matan, Foin Nu’u Bua Klau. Foin Nu’u Etu Kumun, Foin Nu’u Murak Husar. Baru Seperti Biji Mata Ayam, Baru Seperti Potongan Sebelah Buah Pinang, Baru Sebesar Gumpalan Nasi Di Tangan, Baru Sebesar Pusar Mata Uang. Dan titik kecil itulah yang kelak dikenal dengan Gunung Lakaan sekarang, sebagai puncak tertinggi di Kabupaten Belu! Oleh karenanya, tidaklah heran kalau Orang Belu menjuluki puncak itu dengan nama Foho Laka An, Manu Aman Laka An, Sa Mane Mesak, Baudinik Mesak. Gunung Yang Memiliki Cahaya Sendiri, Ayam Jantan Merah Bercahaya Sendiri, Seperti Lelaki Tunggal, Seperti Bintang Tunggal.
Dan di puncak Gunung Lakaan ini pula, diyakini oleh masyarakat Kabupaten Belu, lahirlah Manusia Pertama Belu. Sebenarnya ada nama yang dikenakan kepada Leluhur Pertama Orang Belu yang pertama kali hidup di Puncak Gunung Lakaan. Manusia pertama di Belu ternyata seorang Puteri Cantik.
Berikut ini cuplikan catatan tentang Leluhur Pengasal Manusia Belu:
“Menurut cerita orang tua-tua di Belu, pada jaman dahulu kala, seluruh Pulau Timor masih digenangi air, kecuali puncak Gunung Lakaan. Pada suatu hari turunlah seorang putri dewata di puncak gunung Lakaan dan tinggallah ia di sana. Putri dewata itu bernama Laka Loro Kmesak yang dalam bahasa Belu berarti Putri tunggal yang tidak berasal usul. Laka Loro Kmesak adalah seorang putri cantik jelita dan luar biasa kesaktiaannya. Karena kesaktiannya yang luar biasa itu, maka Laka Loro Kmesak dapat melahirkan anak dengan suami yang tidak pernah dikenal orang.
Para Mako’an Belu mengatakan bahwa “Suami” atau “Leluhur Lelaki” yang tidak dikenal itu, yang “menghampiri” Leluhur Perempuan (Laka Loro Kmesak), kelak lebih dijuluki dengan Gelar: Manu Aman Lakaan Na’in. Artinya Tuan dari Puncak Jago Lakaan. Karena kerahasiaan itu tetap terjaga sampai tidak disebutkan Nama, maka Laka Loro Kmesak disebut pula dengan nama Na’in Bilak An yang artinya berbuat sendiri dan menjelma sendiri.
Beberapa tahun kemudian Putri Laka Loro Kmesak berturut-turut melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Kedua putranya diberi nama masing-masing, Atok Lakaan dan Taek Lakaan. Sedangkan kedua putrinya masing-masing diberi nama : Elok Loa Lorok dan Balok Loa Lorok.
Setelah keempat putra-putri ini dewasa mereka dikawinkan oleh ibunya karena di puncak gunung tidak ada keluarga lain. Atok Lakaan kawin dengan Elok Loa Larak dan Taek Lakaan Kawin dengan Balok Loa Lorok. Kelak keturunan Manu Aman Lakaan inilah yang kelak memenuhi Tanah Belu, Timor Leste, Dawan, Rote, Sabu, Larantuka atau Lamaholot di Pulau Flores bagian Timur.”
Tidaklah heran kalau masyarakat Belu kebanyakan menganut paham matrilineal karena kisah Tuan Putri Laka Loro Kmesak ini. Walau akhirnya dalam sejarah yang panjang, anak-cucu Manu Aman Lakaan mengembangkan pula sistem patrilineal dengan mem-faen kotu seorang istri untuk dimasukkan ke rumah suku lelaki, itu merupakan pengembangan lebih lanjut atau penafsiran terhadap sistem matrilineal yang sudah ada sejak leluhur, di mana, perempuan yang di-faen-kotu, memiliki arti bahwa perempuan itu sangat tinggi harkatnya dan sangat disanjung sehingga suku suami, rela mengorbankan harta bendanya demi mendapatkan perempuan baru sebagai anggota inti rumah suku sang suami.
***
Menilik kisah leluhur dari Manu Aman Lakaan di atas, kita mengerti bahwa generasi inilah, yang merupakan penghuni asli dan pertama di pulau Timor. Karena leluhur tercinta Laka Loro Kmesak tidak berasal dari salah satu tempat lain, tetapi turun ke puncak Gunung Lakaan, maka Beliau dijuluki Turu-Monu … menetes dari atas, jatuh dari atas. Semua generasi Turu-Monu inilah yang kelak dijuluki: Fohonain, Rainain, pemilik gunung, pemilik tanah, Ainain, Fatuknain, Pemilik Pohon Besar, Pemilik Batu Besar.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika seluruh tanah Timor mulai terlihat, karena air mulai mengering, sebagian anak-anak dan cucu-cucu dari Puncak Gunung Lakaan pun mulai menyebar, tidak hanya di sekitar kaki Gunung Lakaan, namun juga sampai ke Mandeu, Naitimu, Lidak, Jenilu, Lakekun, Litamali, Alas, Biboki, Insana, Wehali, Maukatar, Lubarlau, Ramelau, Sabu, Rote bahkan Flores.
Dan kelak, ketika keturunan Manuaman Lakaan yang di tempat-tempat lain, berkembang biak, mereka mendatangi lagi Gunung Lakaan dan mereka dianggap saudara-saudari yang sudah moris kdok, tubu-kdok, wa’i kdok, bea kdok. Fila nikar Fohorai, To’o nikar Fohorai. Dan karena mereka di tempat mereka sebelumnya, mereka pun sudah tinggal menetap dan berkuasa atas tanah dan gunung yang baru, mereka seolah-olah memiliki dua kewarganegaraan, warga di tempat baru, atau pun warga di Gunung Lakaan sendiri. Maka ada istilah, Ba ne’e ba uma, mai ne’e mai uma. Artinya, ke sana pun rumah, ke sini pun rumah. Bukanlah negeri asing, dan bukanlah pendatang. Mereka inilah yang kelak dijuluki Raioan, Foho Oan. Artinya Anak-cucu dari Tanah Ini dan Anak-cucu dari Gunung ini … artinya mereka sudah pernah marantau toh kembali juga kepada haribaan Bumi Pertiwi Lakaan.
Selain itu, ada juga kelompok yang lebih jauh datangnya …. Dari Asia, dari Malaka, menyinggahi berbagai pulau, berbagai pelabuhan, namun terus mencari kalau Timorlah yang mereka cari. Pencarian akan Timor ini pun memungkinkan karena anak-cucu Manuaman Lakaan sudah tersebar luas ke mana-mana, dan mereka mengisahkan kepada orang luar bahwa Timor adalah tanah impian, negeri Putri Laka Loro Kmesak yang adalah Tuan Putri yang Sakti. Dan sebagaimana sudah disinggung di atas, kalau Sang Putri yang merupakan Leluhur Orang Timor itu, entah dengan kesaktiannya, menjumpai Sang Pangeran dari Asia atau dari mana pun? Ini juga menjadi daya pikat orang-orang yang merasa kalau ternyata Sang Putri ada ikatan juga dengan mereka. Kehadiran kelompok ini dijuluki: Dina Oan Bada Oan. Artinya Orang-orang yang tiba di Timor dari tempat jauh, mereka mungil, elok dan molek, dikasihi, dan dimanjakan. Rupanya Keturunan Asli Manuaman Lakaan berbadan tegap dan besar. Mereka yang terhitung dalam kelompok Dina Oan-Bada Oan, cantik, mungil, patut dikasihi, karena dalam misteri tertentu, leluhur mereka dan leluhur Manu Aman Lakaan Nain masih ada ikatan rahasia.
Kelompok Dina Oan – Bada Oan ini menurut para Mako’an Belu, terdiri atas empat gelombang kedatangan, masing-masing:
1. Ema Melus. Besar kemungkinan berasal dari Asia Tenggara, namun pernah lama di Melanesia (Pasifik).
2. Ema Lubu-Doha. Besar kemungkinan berasal dari dari Asia Tenggara namun pernah lama di Luwuk-Donggala (Sulawesi), melewati Larantuka dan Lamaholot.
3. Ema Luta Rato Jo Pata atau Luta Tefa, kemungkinan berasal dari India, namun pernah lama di Sumatra, melewati Sumbawa, Flores, Sumba.
4. Ema Kisar Sit, kemungkinan berasal dari Asia Tenggara, namun pernah lama menetap di Maluku.
5. Sina Mutin Malaka, kemungkinan berasal dari Cina Selatan dan Malaka.
Boleh dibilang kalau kebanyakan orang-orang Dina-Bada datang dari Asia-Pasifik, Asia Tenggara dan Selatan. Ini memang cukup beralasan, karena ras Timor memang lebih merupakan campuran antara ras Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pasifik. Namun, untuk kebudayaan Timor, paduan antara Turu-Monu dan Kisar Sit, konon dinilai lebih dominan. Ini bisa terlihat dari relasi Tihar (gendang di Belu) dan tifa (di Maluku). Kain tenun ikat Timor dan Maluku yang sangat bermiripan. Tentu akar budaya Maluku sendiri tidak bias dilepaskan dengan akarnya yang bias saja berasal dari kebudayaan sekitar Asia Tenggara (seperti Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos, Malaysia) dan Asia Selatan (India).
Dalam rentang waktu yang lama, gelombang Dina Oan-Bada Oan susul-menyusul tiba di Timor. Dan begitu tiba, mereka selalu membawa peradaban baru sesuai kultur yang mereka kenal sebelumnya. Entah itu merabu, berburu, bertani, menenun, menyadap tuak, pandai besi, logam, beternak, sampai nelayan. Mereka pun memperkenalkan budaya gong (tala), tambur kecil (tihar), tambur besar (tuhun) dan seterusnya.
Selain terjadi interaksi social di antara mereka, yakni penduduk asli dan kelompok dina-bada, terjadi pula hubungan kawin-mawin yang mana kian lama, kian mengikatpadukan mereka semua, menjadi anak-anak yang bertumbuh bersama di bumi Timor, dan khususnya menjadi orang Belu.
Bahasa-bahasa yang ada di Timor, misalnya Tetun, Dawan, Sabu, Rote, Kemak dan Bunak, selain punya kesamaan atau kemiripan tertentu antarmereka (bahasa-bahasa itu), juga kalau disimak lebih jauh, tidak terlalu jauh juga relasinya dengan Bahasa-bahasa di Asia Selatan (India), dan lebih khusus lagi ada relasi lebih kuat dengan Bahasa-Bahasa Asia Tenggara seperti Bahasa Melayu, Bahasa-Bahasa Nusantara, Tagalok serta Bahasa-Bahasa Pasifik.
Menurut penelitian para ahli Bahasa, Bahasa Bunak lebih erat terkait dengan Kultur Pasifik. Bahasa Tetun lebih terkait dengan Unsur Melayu. Namun karena hidup bersama yang terjadi ratusan bahkan ribuan tahun, kelak, terasa bahwa antara bahasa-bahasa di Timor sendiri, telah terjadi pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar